Kamis, 10 Mei 2012

Krisis BBM: Kristus Bangkit Bagi Manusia (Sebuah Refleksi KebangkitanKristus)

Oleh: Evan Adiananta

Kamis, 3 Mei yang lalu, GMKI Cabang Salatiga mengadakan perayaan paskah di GKI Soka, Salatiga. Meski Hari Raya Paskah sudah lewat beberapa minggu karena ada beberapa kemungkinan yang membuat perayaan harus tertunda, mereka (GMKI) tetap memiliki rasa tanggung jawab di salah satu medan layan, yaitu gereja. Dengan tema “Krisis BBM: Kristus Bangkit Bagi Manusia”, GMKI bukan sekedar untuk bernyanyi memuji Tuhan dan mendengarkan khotbah, namun mereka juga mengajak beberapa kelompok etnis dan Komisi Pemuda GKI Soka untuk ikut merefleksikan Paskah dengan keadaan bangsa sekarang.

Paskah yang secara sederhana boleh diartikan sebagai pembebasan umat manusia dari dosa oleh kebangkitan Kristus, sebisa mungkin perefleksiannya tetap relevan dengan masa sekarang. Karena bila kebangkitan Kristus hanya dilihat sebagai penebusan dosa, maka tidak akan ada bedanya dengan dongeng anak-anak sebelum tidur. Jadi, bagaimana kita bisa coba lihat Paskah itu dari sisi lain? Apa tantangan kita –sebagai pemuda dan mahasiswa—untuk masa sekarang?

“Tantangan pemuda masa sekarang beda dengan pemuda yang lalu. Kebebasan yang mereka dapatkan sekarang, bisa membuat mereka terasing dengan dengan kebebasannya sendiri. Seperti kata Sekretaris Umum Sinode GKJ ketika kita sedang berdiskusi, bahwa pemuda dan mahasiswa sekarang sudah tidak pernah memperbincangkan politik. Mereka hanya peduli mengenai kuliah dan kehidupan hedonis yang memberikan kebahagiaan semu. Ini adalah tantangan kekinian,” penggalan kata sambutan dari Fredy Umbu Bewa Guty, selaku Ketua GMKI Cabang Salatiga.

Secara pribadi, aku memaknai penggalan di atas bukan hanya ingin mengatakan tantangan mahasiswa sebatas ketertarikan dan keikutsertaan dalam dunia politik. Aku lebih memaknainya sebagai tingkat kesadaran mahasiswa –yang konon katanya sebagai kaum intelektual—dalam menjalani tanggung jawab sosialnya dalam masyarakat. Mungkin sedikit terasa omong kosong ketika aku –yang juga masih berstatus mahasiswa—mencoba mengkritik tingkat kesadaran mahasiswa akan tanggung jawab sosial, memangnya kesadaranku sendiri sudah setingkat dewa apa? Tidak. Aku tidak hanya mengkritik mahasiswa lainnya, tapi aku juga mencoba mengkritik diri sendiri. Mari kita coba lebih dalam mengkritik –jika tidak suka menggunakan kata mengkritik, gunakan kata merefleksi—diri sendiri sekarang.

Kebangkitan Kristus tidak bisa lepas dari proses kematian-Nya di kayu salib. Proses itu terbingkai dalam sebuah drama “kesadaran” akan tokoh-tokoh yang berperan cukup penting; seperti Herodes dan Kayafas yang secara sadar merasa tersaingi dan takut posisinya tergeser oleh Yesus; seperti Yudas yang secara sadar menjual Yesus untuk bisa menjadi pelopor gerakan melawan penjajah Romawi, sayangnya dia salah perhitungan, akhirnya mati bunuh diri karena menyesal; dan seperti Pontius Pilatus yang dengan sadar bahwa dia tidak bisa menemukan kesalahan Yesus, tapi dia sendiri tidak bisa berbuat apa-apa karena keinginan orang banyak; serta Petrus yang takut dalam kesendiriannya, hingga akhirnya dia sadar telah menyangkal Yesus sebanyak tiga kali, setelah ayam berkokok.

Kesadaran diri sangatlah penting dalam mengkritik atau merefleksi diri sendiri, karena tanpa adanya kesadaran, kita sebagai manusia tidak akan mau untuk melihat, yang kemudian memperbaiki kekurangan dan keburukannya sendiri. Aku menjadi teringat akan diskusi dengan seorang teman mengenai makna kematian Yesus, terutama ketika Yesus bersorak meminta Bapa untuk mengampuni manusia yang tidak mengetahui apa yang mereka perbuat. Temanku memaknai permintaan itu bukan lagi sekedar pengampunan dosa manusia, tapi lebih pada keinginan dan peringatan Yesus untuk manusia bisa meningkatkan kesadarannya hari demi hari, tidak pernah berhenti untuk semakin mendekati tingkat kesadaran yang sama seperti Yesus.

Jika tingkat kesadaran manusia terus menerus naik tingkatannya, maka permasalahan-permasalahan manusia yang timbul akibat kurang kesadaran, seperti menyakiti perasaan orang lain, tidak peduli terhadap lingkungan sekitar, dan hanya mementing diri sendiri –padahal hidup dengan orang banyak, bisa sedikit demi sedikit teratasi. Itu semua karena kesadaran yang terbentuk, bahwa manusia tercipta tidak hidup sendirian, tapi berdampingan, saling membutuhkan, dan saling peduli –tidak peduli umur, jenis kelamin, maupun status sosial. Dan sebelum kita bisa mengatasi krisis BBM yang melanda negeri ini, kita bisa mencoba mengatasi krisis kesadaran kita terlebih dahulu. Ut Omnes Unum Sint!

3 komentar:

Wah ternyata GMKI Cab. Salatiga udah punya blog ya? Salut!

Refleksi yang menguatkan.

Shalom! Ut Omnes Unum Sint

Shalom...
Ini baru dalam tahap perintisan, Bung Edo.
Semoga akan berkembang lebih baik lagi.

Ut Omnes Unum Sint

Terima kasih bung Edo untuk penguatannya selama ini. :)

Posting Komentar