Kamis, 17 Mei 2012

Menggali Ke-Indonesia-an; Jawaban Terhadap Politik Identitas

Awal Desember 2011 yang lalu sebuah surat kabar harian nasional memuat berita dengan judul “Politik Identitas Picu Konflik[1]. Berita itu pada dasarnya memuat tanggapan beberapa akademisi terkait fenomena struktur sosial masyarakat Indonesia saat ini, yang didominasi oleh menguatnya identitas sebagai basis berpolitik. Sosiolog Universitas Indonesia, Imam Prasojo, mengatakan bahwa salah satu contoh politik identitas paling mencolok saat ini adalah tentang penggunaan atribut keagamaan. Imam mengandaikan bahwa politik identitas ibarat kesebelasan sepakbola, yang mana jika tim yang kalah karena menggunakan keagamaan, membuat pendukungnya merasa agamanya kalah.

Pendapat lain dikemukakan oleh Hotman Siahaan, Guru Besar FISIP Universitas Airlangga Surabaya. Hotman mengambil contoh tentang kasus Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin Bogor yang memperlihatkan bahwa pemerintah tidak berpihak pada masyarakat (secara umum) tetapi hanya kepada golongan tertentu. Bahkan, pemerintah sendiri yang memberikan contoh tidak menegakkan hukum, terkait aparaturnya yang tidak menjalankan keputusan Mahkamah Agung (MA).

Ya, memang pembicaraan tentang masalah GKI Taman Yasmin belum tuntas sampai hari ini. Selain pemerintah, sejak Desember 2010 telah terlihat pula berbagai kelompok fundamentalis agama yang dibiarkan oleh aparat keamanan, yang terus saja mengganggu GKI Taman Yasmin dalam beribadah. Sebagai contoh, pada ibadah natal GKI Taman Yasmin, sebuah kelompok fundamentalis yang bernama Forum Komunikasi Muslim Indonesia (Forkami) melakukan aksi demonstrasi anti gereja di dekat berlangsungnya ibadah natal. Sepanjang ibadah, kelompok fundamentalis meneror umat GKI Taman Yasmin yang sedang melakukan ibadah Natal. Jarak mereka hanya sekitar dua meter dari tenda jemaat. Sampai akhir ibadah, kekerasan verbal terus dilakukan oleh kelompok fundamentalis tanpa dihentikan polisi. Yang terakhir, terjadi pada 22 Januari 2012, harian Kompas memuat berita tentang pernyataan juru bicara GKI Yasmin, Kristono yang mengatakan bahwa, sekitar 70 orang mendatangi rumah jemaat yang dijadikan tempat ibadah, yang mencoba memprovokasi dan memaksa sekitar 80 jemaat keluar dari rumah tempat ibadah tersebut.

Persoalan di atas menjadi contoh kongkrit yang sengaja diambil untuk memperlihatkan wajah Indonesia saat ini, Indonesia yang sering disebut, atau yang selalu mengakui ke-Indonesia-annya dalam bingkai kebangsaan dan negara yang demokratis. Sebagai bangsa dan negara (nationale-staat) yang sangat majemuk, sambil menjalankan tatanan demokrasi sebagai sistem politiknya, Indonesia memiliki identitas kebangsaan dan kenegaraannya, yaitu Pancasila. Sering dinyatakan pula bahwa Indonesia merupakan bangsa yang sangat menghargai perbedaan. Bahkan pada tahun 2009, Menteri Luar Negeri Australia, Menteri Luar Negeri Italia dan beberapa negara lain, menjadikan Indonesia sebagai model kehidupan bersama dalam kerukunan. Karena menurut kacamata internasional, kemampuan Indonesia dalam meramu perbedaan ratusan suku, bahasa, etnis, atau perbedaan agama menjadi sebuah harmoni, tidak dimiliki oleh dunia, dimana kekhawatiran banyak orang terhadap perbedaan dan keberagaman, juga mencurigai agama-agama sebagai sumber konflik.[2]

Namun demikian, menilik pada persoalan GKI Taman Yasmin di atas, seakan mengatakan bahwa Indonesia juga turut menjadi bagian dari fenomena global, yang mana kecenderungan politik identitas menyeruak dalam struktur sosial masyarakatnya, terutama sejak kejatuhan rejim Soeharto pada bulan Mei 1998. Dan setidaknya, bangkitnya kembali politik identitas ini terlihat dari munculnya dua gejala politik utama, pertama, terjadinya kerusuhan antar etnis di beberapa daerah seperti Kalimantan Barat, Maluku, Poso, Papua, Kupang dan beberapa daerah lain. Kedua, terjadinya tindak kekerasan dengan menggunakan sentimen-sentimen agama, baik antar agama, intra agama atau antara kelompok agama dengan kelompok di luar agama. Di pihak lain, apabila ditelusuri secara mendalam, ada dua bentuk kekerasan politik agama yang terjadi di Indonesia, pasca Orde Baru.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, mengapa masih terdapat kecenderungan politik identitas yang belum mengakui kemajemukkan, sebagaimana layaknya contoh di atas? Bagaimanakah kecenderungan politik identitas muncul secara historis di Indonesia? Bagaimanakah konflik yang bersumber dari politik identitas agama dapat dikelola? Inilah sederet pertanyaan yang ingin dijawab dalam tulisan ini, yang sekiranya mampu menjawab persoalan kebangsaan Indonesia yang belum tuntas sampai hari ini.



Politik Identitas, Sebuah Sejarah dan Fakta Kekinian

Dalam satu dekade terakhir, pandangan suatu kelompok agama terefleksi dalam politik identitas. Kenyataan politik ini tidak saja muncul lewat ekspresi beberapa partai politik, namun juga organisasi massa dan organisasi massa masyarakat lainnya, dan bahkan ditunjukkan pula  dalam tindakan yang intoleran terhadap kemajemukkan. Kekerasan tersebut kemudian berwujud juga pada diskriminasi secara fisik terhadap masyarakat minoritas yang khususnya berdampak atas kebebasan beragama/berkeyakinan. Kecenderungan ini juga ditangkap oleh sejumlah elite pemerintah dan partai politik yang kemudian merespon dan membonceng beberapa tekanan yang disasarkan kepada kelompok minoritas agama. Politik identitas ini terus dipompa sejumlah elite politik dalam berbagai kesempatan untuk meraih dukungan. Beberapa organisasi lainnya pun berpartisipasi dalam menunjukkan identitas mereka terkait dengan kelompok- kelompok yang terdiskriminasi.

Jonathan Sacks (2002) dalam bukunya The Dignity of Diference, yang berusaha mencari jalan untuk menghindari terjadinya benturan antarbudaya mengatakan bahwa dunia global saat ini memperlihatkan sebuah transformasi mendasar dari abad ke-20 ke abad ke-21, yakni perubahan dari politik ideologi ke politik identitas. Sacks juga mengatakan Agama dalam politik identitas berperan sangat penting karena menjadi sumber jawaban atas identitas. Namun, pada saat yang sama, agama juga menjadi sumber perbedaan yang bisa melahirkan konflik. Di sisi lain, lebih mendasar lagi menurut Amartya Sen (2006) dalam Identity and Violence: The Illusion of Destiny, yang mengatakan bahwa berbagai masalah sosial-politik saat ini dipicu akibat penegasan identitas yang berlainan diantara kelompok-kelompok yang berbeda pula. Ia juga menambahkan, konsepsi tentang identitas dapat mempengaruhi pikiran dan tindakan manusia dalam berbagai cara. Lebih lanjut, Sen mengatakan juga bahwa sumber utama potensi konflik di dunia kontemporer ini adalah anggapan bahwa manusia bisa secara mutlak dikategorikan berdasarkan agama atau budaya saja.

Secara kontekstual, Frans Magnis-Suseno (2011) dalam sebuah seminar tentang Politik Identitas mengungkapkan bahwa politik identitas merupakan sebuah identitas primordial yang menjadi acuan dasar identitas seseorang dan oleh karena itu, orang itu akan mengambil sikap dan keputusan politik dari sudut keuntungan bagi kelompoknya yang sama identitasnya. Apabila identitas primordial itu adalah agama, maka orang itu pertama-tama merasakan diri sebagai warga agama dan bukan sebagai warga negara. Hal ini berarti, dengan sendirinya identitas keagamaan menjadi batas perasaan solidaritas dan loyalitas sosialnya. Dengan demikian kebersamaan kebangsaan akan tanpa arti emosional bagi yang bersangkutan. Dan pada titik ini menjadi jelaslah bahwa bangsa dan negara tidak lagi merupakan sesuatu yang diminati baginya (orang itu–yang dengan politik identitas tadi), karena dia hanya bersedia berkorban untuk sesuatu memberikan rasa nyaman bagi dia.

Lalu, bagaimanakah dengan konflik horisontal yang diakibatkan oleh politik identitas agama yang terjadi di Indonesia? Dalam sejarah Indonesia, Orde Baru menjadikan agama sebagai suatu diskursus yang diproduksikan, dipilih dan dipilah, diorganisir bahkan didistribusikan oleh negara, untuk dijadikan alat mengamankan kekuasaan. Ketika agama dikontrol oleh negara (dalam hal ini elit negara) maka sudah jelaslah, bahwa kebangkitan agama sebagai identitas di era Orde Baru menjadi momok yang menakutkan. Agama menjadi alat pembunuh, penjarahan, pembakaran dan penganiayaan diantara sesama manusia. Bila dilihat sepanjang Orde Baru, terdapat 609 gereja ditutup (paksa), dirusak dan dibakar, nasib yang sama juga terjadi pada 55 buah mesjid. Periode paling terbesar adalah dalam kurun waktu 1985-1999 yang mana 48 mesjid ditutup (paksa), dirusak dan dibakar, begitu pula terhadap 474 gereja yang ditutup (paksa), dirusak dan dibakar.[3]

Lebih lanjut, pasca kejatuhan Soeharto (Mei 1998), naiknya politik identitas agama tidak hanya ditunjukkan dengan beberapa partai politik, namun juga diiringi dengan tampilnya berbagai organisasi massa baru baik yang bersifat transnasional maupun lokal seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Jamaah Islamiyah (JI), Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Forum Umat Islam (FUI), dan sejumlah kelompok lainnya. Mereka digolongkan sebagai kelompok Islam radikal dan kerap menampilkan sikap dan perilaku intoleran terhadap kelompok lain. Kehadiran dan perilaku mereka yang mengumandangkan isu syariat, pemurtadan, aliran sesat dan pemberantasan maksiat, memang dikhawatirkan oleh kelompok agama atau keyakinan minoritas.

Kemunculan organisasi dengan identitas agama saat ini yang mengaktualisasikan pandangan radikal, sikap dan perilaku intoleran itu tidaklah sepenuhnya bersumber dari pandangan subyektif mereka tentang ajaran agama, namun juga lebih penting lagi justru dilatari oleh proses sosial dan hubungan-hubungan mereka dengan sejumlah elite negara dan politik. Dan pasca-Soeharto, mereka memperoleh ruang publik untuk mengekspresikan atau mengaktualisasikan pandangan radikal, sikap dan perilaku intoleran, bahkan dengan aksi kekerasan. Kekerasan berdasarkan agama memang banyak bermunculan, baik pandangan dan sikap maupun hubungan-hubungan yang terjalin dengan berbagai kelompok.

Penguatan praktik politik identitas pasca Orde Baru telah membawa dampak serius bagi kebangsaan Indonesia. Pluralisme yang menjadi fakta sosiologis bangsa semakin terancam oleh politik penyeragaman atas nama (identitas) agama dan moralitas. Penguatan politik identitas inilah yang harus dilihat sebagai fakta mengapa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan terus terjadi dan bahkan semakin eskalatif. Kondisi ini diperburuk oleh kepemimpinan politik yang tidak turut menjadi bagian dan aktor yang mengeksploitasi identitas-identitas (agama) dalam kehidupan publik untuk kepentingan politik dan kelompoknya. Negara (state) yang seharusnya menunaikan kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak asasi manusia, justru menjadi bagian masalah dalam hal penguatan politik identitas. Berbagai kegagalan negara, khususnya aparat keamanan dan penegak hukum untuk mencegah gangguan dan tindak kriminal terhadap orang-orang yang berbeda agama atau keyakinan telah menguatkan kesan bahwa negara absen ketika dibutuhkan perlindungannya.

Menggali Ke-Indonesia-an

Perdebatan-perdebatan awal tentang pendirian Indonesia memperlihatkan bahwa para pendiri bangsa ingin menghindari kecenderungan negatif kemajemukkan dengan menempatkan pemikiran mereka, yakni melalui penciptaan sebuah nation yang mencoba melepaskan diri dari berbagai fakta perbedaan, sekaligus menciptakan sebuah instrumen pemersatu. Fiksi tentang “bangsa Indonesia” dibangun di atas latar belakang nasib sejarah yang sama dalam menghadapi kolonialisme dan dengan itu para leluhur kita memperjuangkan Indonesia sebagai sebuah komunitas besar yang memiliki kapasitas melakukan tindakan politik. Dalam pidato pertama tentang Pancasila, tgl. 1 juni 1945, Soekarno malah mengusulkan ”kebangsaan Indonesia” sebagai sila pertama Pancasila.[4] Hal ini memperlihatkan maksud Soekarno ia ingin mencoba mengatasi pelbagai hal yang saling bertentangan yang dihadapi Indonesia. Hal itu misalnya di ungkapan dalam pidato berikut :


Kita bersama-sama mencari persatuan philosophisce grondslad, mencari satu “Weltanschauung” yang kita semua setuju. ..... Apakah kita hendak mendirikan mendirikan Indonesia merdeka untuk satu orang, untuk satu golongan? Mendirikan negara Indonesia merdeka yang namanya Indonesia Merdeka, tetapi hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada suatu golongan kaya, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan bangsawan? .... Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Bukan untuk satu orang, buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan kaya, -tetapi “semua buat semua”.[5]

Kutipan pidato Soekarno di atas seolah mengungkapkan beberapa kontradiksi dan yang paling menonjol justru pada masalah Weltanschauung. Ia juga mengatakan tentang sebuah pandangan mengenai dunia dan kehidupan, atau sebuah ‘dasar filsafat’ (philosophische grondslag) yang melandasi persatuan bangsa yang adalah sebuah fondasi, perekat dan sekaligus payung. Di sini tersirat kecenderungan untuk memandangnya sebagai sesuatu yang harus kukuh dan sempurna. Namun bukan berarti menafsirkan Pancasila sebagai sesuatu yang suci dan sakti, seperti halnya kecenderungan Orde Baru, yang menganggap Pancasila itu sakti.

Dalam bahasa Soekarno seakan mengatakan bahwa Pancasila memiliki sifat keterbukaan untuk kreatifitas, yang artinya tak bisa mutlak. Tiap sila mau tak mau harus diimbangi oleh sila yang lain, seperti kata Soekarno: bangsa ini tak akan bisa hanya menjalankan sila keberagamaan (‘Ketuhanan Yang Maha Esa’) tanpa juga diimbangi sila kesatuan bangsa (‘kebangsaan Indonesia’), dan sebaliknya. Juga tak akan patut dan tak akan bisa bila ingin menerapkan ‘sila’ nasionalisme tanpa diimbangi perikemanusiaan, dan begitulah seterusnya.

Goenawan Mohamad (2009) dalam sebuah pidatonya juga mengungkapkan penafsiran yang sama seperti ungkapan Soekarno di atas. Mohamad mengatakan bahwa tepat sekali ketika Soekarno menggunakan kiasan ‘menggali’ dalam merumuskan Pancasila. ‘Menggali’ melibatkan bumi dan tubuh. Karena Pancasila lahir dari jerih payah sejarah, dan – seperti halnya hasil bumi – menawarkan sesuatu yang tetap bisa diolah lebih lanjut. Pancasila tak ‘ready-for-use’, ia tak menampik tafsir yang kreatif. Pancasila membuka kemungkinan untuk tak jadi doktrin, sebab tiap doktrin akan digugat perkembangan sejarah.[6]

Mengapa kita menyaksikan air pasang politik identitas di banyak tempat di dunia? Mengapa juga di Indonesia? Sekiranya, di Indonesia terdapat dua sebab penyempitan identitas politik secara eksklusif pada keagamaan yang agresif dan kecenderungan sikap memusuhi yang tidak termasuk mereka: Pertama, ideologisasi keagamaan yang merupakan gejala di seluruh dunia, yang mulai diperhatikan sejak revolusi Imam Khomeini di Iran, merupakan reaksi terhadap modernisasi (dari barat) yang datang secara mendadak dan mengancam. Ideologis agamis mengklaim dapat memberi kejelasan dalam berupa filter spiritual dan moral, untuk mengantisipasi ketidakpastian paham yang dilepaskan oleh modernisasi yang datang dari “barat” itu. Khususnya di dunia Islam ada perasaan bahwa Islam dimusuhi di mana-mana dan diperlakukan dengan tidak adil. Perasaan itulah yang di Indonesia membawa orang-orang muda ke jihadisme.

Alasan kedua, adalah kelemahan, bisa jadi kekosongan nilai-nilai dan cita-cita politik Indonesia. “Indonesia bukan lagi sebuah proyek bangsa yang mengasyikkan,” kata Magnis-Suseno. Sehingga “Indonesia” kehilangan makna dan artinya. Itu khususnya berlaku bagi Pancasila yang dipahami sebagai daftar nilai yang membosankan dan tanpa gigi serta dipakai secara manipulatif. Para pimpinan negara yang sebenarnya paling pertama bertanggungjawab atas situasi itu rupanya tidak mampu memberi inspirasi, membuat orang muda Indonesia merasa bangga bahwa mereka orang Indonesia, bangga dan optimis bahwa mereka berpartisipasi dalam “proyek Indonesia’ yang meng-asyik-kan”.

Pertanyaan selanjutnya adalah, apa yang harus dilakukan? Tentu hanya sebuah aksi bersama yang terpimpin, yang bisa memberi harapan guna menjawab persoalan kebangsaan di atas. Saya melihat ada sekurang-kurangnya lima hal yang perlu dilaksanakan: Pertama, agama-agama sendiri harus memenangkan interpretasi agama yang seimbang dan meyakinkan dan menolak kekerasan dan eksklusivisme. Hegemoni intelektual dalam agama-agama (Gramsci) perlu berpindah ke tangan para demokrat. Kedua, masyarakat perlu dibantu untuk menjadi yakin, bahkan sepenuhnya berkomitmen terhadap demokrasi. Demokrasi harus dimantapkan dalam hati, perasaan dan otak orang Indonesia.

Ketiga, Pancasila harus digali dan diangkat kembali ke dalam diskursus publik, sehingga membuka relevansi dan kekuatannya terhadap pemahaman kebangsaan Indonesia. Harusnya orang bangga bahwa negara ini dibangun atas dasar Pancasila. Keempat, negara harus mengakhiri politik pembiaran terhadap kekerasan atas nama agama. Para pemimpin negara harus menunjukkan bahwa mereka berkarakter, bahwa mereka mempunyai keberanian untuk bicara jelas kepada rakyat, membuat jelas bahwa mereka tidak akan mentolerir kekerasan berlangsung, mengecam ekstremisme, termasuk ekstremisme agama, serta mendidik rakyat agar saling menghormati (minoritas dan mayoritas), termasuk anggota dari apa yang disebut “ajaran sesat“, dan mengakui agama-agama lokal di Indonesia, yang lebih minoritas lagi. Kita memerlukan pemimpin yang berani mengecam semua pihak yang meremehkan Pancasila.

Kelima, saya mencoba mengutip salah satu kerangka mengelola pluralitas yang diungkapkan oleh dosen saya, Pamerdi Giri Wiloso, dalam sebuah seminar multikultural, bahwa negara saat ini membutuhkan kebijakan kebudayaan, seperti halnya negara-negara demokrasi lainnya, yakni kebijakan multikulturalisme, yang sesuai dengan kontekstualitas Indonesia. Saya lebih senang menggunakan ungkapan Hikmat Budiman, “negara berkewajiban mengakui keberadaan dan hak hidup setiap individu maupun kelompok yang berbeda, dan melindungi mereka dari ancaman kekerasan pihak-pihak di luarnya”. Dengan kalimat lain, negara wajib membuat kebijakan kebudayaan yang juga melindungi keselamatan para pengikut Ahmadiyah, etnis Dayak, Jawa, Batak, dst. Di pihak lain, negara juga tidak memiliki hak untuk membubarkan dan tidak perlu pula memiliki komitmen untuk melindungi individu ataupun kelompok tersebut dari kepunahan.

Kepustakaan

Bahar, Safroedin, et.al. 1995. Risalah Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Ghalia Indonesia. Jakarta.

Budiman, Hikmat. 2011. Hak Minoritas dan Peran Negara: Menguji Argumen Multikulturalisme. diskusi Hak Minoritas dan Peran Negara di Komunitas Salihara. Jakarta, 17 Februari 2011.

Giri Wiloso, Pamerdi. 2009. Pluralitas Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia. Makalah Seminar Multikulturalisme, Senat Mahasiswa Universitas (SMU) UKSW, 19 Maret 2009.

Kompas edisi cetak 2 Desember 2011, hal. 2, “Politik Identitas Picu Konflik”.

Suseno, Frans Magnis. 2011. Agama dan Politik Identitas. Diskusi Panel “Politik Identitas”, Gelanggang Mahasiswa Universitas Sumatera Utara, 25 Mei 2011.

Mohamad, Goenawan. 2009. Menggali Pancasila Kembali. Pidato Peluncuran politikana.com. 27 April 2009

Santoso, Thomas., Paul Tahalele., Frans Parera (ed). 2000. “Indonesia di Persimpangan Kekuasaan, Dominasi Kekerasan Atas Dialog Publik”. Go-East Institute dan Forum Komunikasi Kristen Indonesia (FKKI). Surabaya.

Yan Olla, Paulinus. “Melirik Indonesia sebagai Model Kerukunan”. Opini Kompas edisi cetak 27 Maret 2009, hal 6.









[1] Lihat Kompas edisi cetak 2 Desember 2011, hal. 2, “Politik Identitas Picu Konflik”.




[2] Yan Olla, Paulinus. “Melirik Indonesia sebagai Model Kerukunan”. Opini Kompas edisi cetak 27 Maret 2009, hal 6.




[3] Santoso, Thomas., Paul Tahalele., Frans Parera (ed). 2000. “Indonesia di Persimpangan Kekuasaan, Dominasi Kekerasan Atas Dialog Publik”. Go-East Institute dan Forum Komunikasi Kristen Indonesia (FKKI). Surabaya. Hal 112-113




[4] Redaksi teks Pancasila yang dirumuskan Sukarno sedikit berbeda dengan apa yang kemudian secara resmi diterima sebagai dasar Negara Republik Indonesia. Dalam rumusan Sukarno, Pancasila meliputi: (1) Kebangsaan Indonesia; (2) Internasionalisme atau perikemanusiaan; (3) Mufakat atau demokrasi; (4) Kesejahteraan sosial, dan; (5) Ketuhanan Yang Maha Esa. Sementara teks Pancasila yang resmi sampai saat ini berbunyi: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; (3) Persatuan Indonesia; (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan; (5) Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.




[5] Bahar, Safroedin, et.al. 1995. Risalah Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Ghalia Indonesia. Jakarta.



[6] Mohamad, Goenawan. 2009. Menggali Pancasila Kembali. Pidato Peluncuran politikana.com. 27 April 2009.

Tulisan ini sudah pernah dimuat di Majalah GEMEINSCHAFT yang diterbitkan oleh PP GMKI.


Oleh: Fredy Umbu Bewa Guty, Ketua GMKI Cabang Salatiga.


0 komentar:

Posting Komentar