Sabtu, 14 Juli 2012

Manusia Otokritik


"Anda tidak akan bisa bebas memaksa orang lain untuk bisa memahami anda sepenuhnya, karena anda hanya diberikan kebebasan untuk bisa memahami diri anda sendiri dan orang lain, meskipun tidak akan bisa sepenuhnya."



Bagiku, semua manusia memiliki kecenderungan untuk anti terhadap kritik. Kenapa? Karena pada dasarnya manusia cenderung mencari yang enak saja. Buat aku pribadi, mengkritik adalah suatu keenakan tersendiri, lebih enak melontarkan kritik daripada menerima kritik. Dan pada akhirnya pula bisa disimpulkan, manusia yang sering mengkritik cenderung anti kritik atau tidak mau menerima kritik. Tapi, bagaimana rasanya jika manusia yang tukang kritik itu, akhirnya juga mengkritik dirinya sendiri? Tetap tidak enak –karena itulah, tulisan ini lama jadinya.

Seorang teman pernah mengutip kata-kata Arief Budiman, bahwa kritikan itu konsultasi gratis. Malangnya, kutipan semacam itu selalu aku buat untuk penguatan diri untuk semakin gencar mengkritik sana dan sini. Kenapa aku merasa malang terhadap diri sendiri? Karena aku sering lupa, bahwa aku juga memerlukan konsultasi gratis itu untuk bisa mengenal diriku sendiri. Aku sering lupa bahwa akupun juga hanya manusia biasa yang tidak bisa terlepas dari kritikan. Dan malangnya lagi, ketika aku lupa akan hal itu, aku menjadi manusia anti kritik.

Kritikan yang tidak enak untuk dirasakan, memang cenderung membuat manusia menjadi anti kritik, selain itu juga dapat membuat hubungan antar individu menjadi merenggang –setidaknya itulah yang aku amati dari orang-orang yang sering aku kritik. Itulah mengapa dulu aku semakin protes dan mengkritik orang yang tidak bisa menerima kritikanku. Dan itu semua adalah kelupaanku. Lupa pada diri sendiri, aku lupa untuk mengkoreksi diri, lupa untuk menurunkan arogansiku –bahwa aku juga manusia biasa, dan lupa untuk belajar dari kelupaanku.

Manusia anti kritik memang selalu lupa akan dirinya sendiri. Ini tidak perlu disimpulkan dari teori tokoh besar manapun, aku sudah cukup membuktikannya sendiri. Hampir semua kritikanku selalu berbicara mengenai orang lain, tanpa berkaca dari diriku sendiri. Hampir semua kritikanku bernada, “kamu harus seperti ini…,” bukan bernada, “kita sebaiknya seperti ini…,” atau malah bernada, “aku sebaiknya seperti ini…,” hampir tidak ada –hanya beberapa saja.

Tidak ada refleksi diri dalam manusia yang anti kritik, semuanya selalu berisikan orang lain. Bukankah itu sudah menunjukkan lupa akan diri sendiri? Pedahal aku manusia yang cenderung ingin mengenal diri sendiri, dan itu tidak akan bisa terjadi kalau aku selalu lupa akan diriku –yah, pada akhirnya manusia yang bisa mengkritik diri sendiri adalah manusia yang bisa mengenal dirinya sendiri, meskipun tidak sepenuhnya.

Dan untung saja, dari semua proses kelupaanku, aku tidak lupa untuk mencatat –meski tidak semuanya aku catat dalam tulisan. Sempat aku membaca ulang semua catatan yang aku tulis, beberapa catatan itu terasa memuakkan bila dibaca, rasa-rasanya aku ingin memukul orang yang menulis itu semua. Aku melihat sosok yang sok mengingatkan, sok kuat, sok pintar, sok sempurna, dan sok ingin dipukul.

Jadi, kalau besok-besok masih bertemu orang macam itu lagi, pukul saja, biar orang itu ingat kalau dia memang manusia yang sempurna, manusia yang sempurna lemahnya dan gobloknya.

Oleh: Evan Adiananta N.

0 komentar:

Posting Komentar