Oleh : Melky Molle
Berbicara tentang dialog antar agama dan keunikan Kristus bukan hanya terjadi dalam suatu pertemuan formal saja, yang di dalamnya kita mencari tentang keunikan keagaamaan kita masing-masing. Tapi lebih dari itu, bahwa dialog tersebut juga dapat terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Dengan alasan itulah saya merasa penting untuk mengangkat tulisan ini untuk mengungkapkan realita Indonesia akhir-akhir ini. Bagi saya, dialog antar agama dan melihat keunikan Kristus tidak terlepas dari berbagai persoalan yang ada di sekitar kita. Sehingga, untuk itulah, di samping topik di atas, saya akan sedikit mencoba menggambarkan realita yang ada, yang mengetengahkan dialog itu terjadi, dalam pandangan keunikan Yesus.
Tidak dapat dipungkiri, bangsa Indonesia terbangun
oleh kesadaran akan realitas kemajemukan, yaitu kemajemukan ras, etnis, agama
dan kultur. Dalam pembentukan bangsa ini, kepelbagaian itu justru dilihat sebagai
suatu kekayaan yang tak ternilai. Itu pula
yang digambarkan dalam semboyan negara republik Indonesia, “ Bhineka Tunggal
Ika “, sebagai mana tertulis dalam lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila.
Dalam sejarah perjalanan bangsa ini, perjumpaan antar ras, etnis, agama,
dan kultur tersebut turut menyumbang dalam pembentukan identitas sebagai bangsa
Indonesia: bangsa yang majemuk. Dan dengan
kearifan dari berbagai latar belakang tersebut terbangun suatu masyarakat yang
harmonis dan saling menghargai di tengah kepelbagaian. Salah satu hal yang
mampu mengikat masyarakat harmonis di tengah kemajemukan tersebut adalah
semangat toleransi. Berbeda dengan
corak Islam di Timur Tengah, Islam yang berkembang di Indonesai sangat ramah
terhadap budaya lokal dari suku-suku bangsa Indonesia.
Sangat disayangkan,
sekitar satu setengah dekade terakhir ini, kehidupan yang harmonis dan saling
mengahargai itu sedikit banyak terusik dengan semakin mengentalnya semangat sektarianisme
(paham yang berlawanan dengan ideologi kebangsaan).[1]
Hal ini, misalnya, terlihat semakin menguatkan kecenderungan memperjuangkan
aspirasi lewat partai-partai berbasis agama, munculnya produk-produk hukum dan
kebijakan negara yang berbasis syariah Islam. Upaya memperjuangkan pelaksanaan
syariat Isilam di Indonesia seakan isu yang tak berkesudahan, walau
sesungguhnya para pendiri bangsa ini sudah sejak awal bertekat menjadikan
bangsa Indonesia sebagai bangsa yang demokratis dengan berasaskan pancasila.
Kini, kecenderungan ini semakin menguatirkan, ketika
dalam realitas kehidupan sesehari, semangat kebersamaan di tengah masyarakat
majemuk ini semakin tergerus oleh semangat intoleransi.[2]
Di waktu lalu, Kompas (media
massa) menurunkan tajuk rencana yang mengulas hasil penelitian di lima
perguruan tinggi besar (UI, ITB, UGM, Universiat Airlangga dan Barawijaya)
dengan hasil 80% mahasiswa menginginkan diberlakukannya Syariah Islam sebagai
dasar negara, dan bukan Pancasila. Hal ini tentu saja
menguatirkan karena kecenderungan sektarianisme tersebut
menguat di kalangan generasi muda. Yang lebih mengenaskan, penelitian keberagamaan
guru-guru agama SMA yang dilakukan oleh PPIM-UIN 2008 menunjukan 52,4 %
responden keberatan jika umat nonmuslim menjadi pemimpin, 63,6% keberatan jika
nonmuslim menjadi kepala sekolah dan 73,1% keberatan jika non-muslim membangun
rumah ibadah.
Semangat intoleransi itu paling
nyata mewujud dalam berbagai kasus-kasus penutupan gereja di berbagai tempat
di Indonesia, terutama di Jawa Barat dan Banten. Berbagai gereja dan tempat
ibadah yang selama beberapa tahun aman tentram bersama masyarakat di
sekitarnya, tiba-tiba mendapat gangguan dari sekelompok orang yang hadir dengan
panji-panji Islam. Selama kurun waktu 2004-2007 ada 118 kasus penutupan gereja
dan selama 2008-2009 ada 28 kasus, sedang Januari-September 2010 terdapat 29
kasus. Berbagai tindak kekerasan juga mewarnai beberapa kasus penutupan gereja.
Dengan demikian maka realitas ini mengusik keprihatinan kita, pertanyaannya
apakah kita membiarkannya, atau kita bertindak dengan kesadaran yang sungguh
akan persoalan kebangsaan yang adalah persoalan kita bersama yang jika
dibiarkan mungkin akan memakan korban bahkan kita sendiri?
Ada suara yang berteriak di manakah
tanggung jawab pemerintah? Di manakah peran agama? Di manakah jiwa nasionalisme kita? Dan bagaimanakah
sikap Gereja dalam mencerminkan ajaran-ajaran Yesus?
Menurut A. A.
Yewangoe, persoalan
kebangsaan adalah proyek bersama, di mana
kemiskinan dan persoalan pluralisme adalah persoalan
yang harus diperhatikan.[3]
Sehingga pada tataran pengambilan kebijakan pemerintah jangan tinggal diam melihat
persoalan bangsa yang semakin hari semakin rumit untuk diatasi,
sehingga mengarah kepada diskriminasi terhadap kaum minoritas yang bisa memecah
belah persatuan dan kesatuan bangsa yang seharusnya menjadi perhatian khusus.
Rakyat Indonesia tidak lagi berteriak
akan persoalan diskriminatif. Padahal, realita
kebangsaan kita adalah pluralisme, yang merupakan
modal
dan kekayaan yang dapat menjadi daya tarik bagi bangsa atau negara lain, jika
ini disadari dan ditata secara baik oleh pihak-pihak terkait khususnya
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Tetapi jika ini dibiarkan oleh pemerintah,
maka negara berdosa terhadap rakyatnya sendiri bahkan Tuhan Yang Maha Esa.
Karena suara rakyat adalah suara Tuhan, pemerintah adalah utusan Allah.
Jika secara etimologi definisi agama di bagi menjadi
A dan Gama yang artinya tidak kacau, maka
sebenarnya kita akan sulit menerjemahkan dengan konteks kita yang telah saya
gambarkan di atas. Jika agama dikaitkan dengan konteks sekarang,
bahwa agama sebagai penyebab kekacauan, maka yang terjadi ajaran-ajaran agama tidak lagi dihayati
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan manusia yang mengakui bahwa selain
kekuatan manusia ada kekuatan yang dahsyat melebihi kekuatan apapun. Yang jadi soal, agama yang seharusnya diyakini sebagai penentu jalan kebenaran,
kini telah bergeser pada hal-hal dogmatis yang menciptakan tembok-tembok
pemisah, sehingga lama atau cepat akan terjadi
gesekan-gesekan sosial. Ajaran agama yang telah menjerumuskan ke paham
sektarianisme, dan mendiskriminasi manusia lain, adalah ajaran sesat. Agama
yang ada di Indonesia seharusnya lebih menguasai diri dari berbagai paham yang
sedang berkembang. Agama harus memiliki konsep-konsep dialog yang menyehatkan
sehingga dapat memberi kehidupan bagi setiap manusia yang beragama.
Di sisi lain, jika kita menyadari bahwa kita
benar-benar mencintai negara Indonesia yang lahir dari sebuah pergumulan
penderitaan bersama untuk merebut kemerdekaan, maka sebenarnya perbedaan adalah
instrumen keindahan, antar agama, etnis,
dan ras yang tertuang dalam ideologi negara kita yaitu Pancasila. Harusnya
para pemimpin kita tidak boleh melupakan sejarah,
karena dari sejarahlah kita dapat bercermin, bahwa
sesungguhnya kemerdekaan yang kita rebut adalah impian
para pendahulu yang mengorbankan harta benda, jiwa dan raga untuk pembebasan
rakyat Indonesia. Sejatinya, ini pula jiwa kepahlawanan
yang tercermin dari semangat Yesus untuk membebaskan kaum tertindas sampai Ia
mati di Salib. Inilah korelasi antara Yesus dengan Pahlawan yang telah
berkorban demi negara, siapapun dia, dia pasti selalu dikenang karena jasanya
terhadap negara. Dengan demikian para tokoh-tokoh agama seharusnya berjiwa
nasionalis dan mengakui bahwa Muhammad dan Yesus sebagai pejuang Humanis yang
pengaruhnya dapat dirasakan secara universal dan diakui oleh dunia.
Gereja seharusnya memahami bahwa
ia bertumbuh dan berkembang serta
berafiliasi dengan kehidupan
keberagaman dalam konteks ke-Indonesia-an
yang sering mengalami dinamika dalam mencari solusi-solusi dalam problem
keagamaan. Realita menggambarkan bahwa bentrokan-bentrokan dogmatis adalah yang
utama yang sering diperdebatkan pada aras grass
root (akar rumput). Apa yang sebenarnya terjadi pada
problem keagamaan dalam konteks ke-Indonesia-an,
menyebabkan mata rantai harmonisasi
tercabik-cabik, dan ini disebabkan oleh paham ekslusif, triumphalisme, yang tertutup dan yang menganggap lebih benar dari
yang lain. Inilah realita sosial yang semakin memprihatinkan. “Yang lain
menganggap musuh bagi yang lain”. Seakan-akan paham homo homoni lupus telah menjadi dokrin bagi orang-orang yang
katanya beragama.
Seharusnya Gereja
tidak boleh
pesimis menghadapi problem kebangsaan itu. Karena
problem kebangsaan yang kita hadapi sekarang ini adalah tanggung jawab kita
bersama. Marilah kita belajar pada kesaksian dan
pemberitaan
Yesus dalam menjalankan amanat Allah di tengah-tengah dunia Palestina pada
zamannya. Yesus menempatkan pelayanannya dengan corak homo homini salus (sumber
berkat). [4]
Bagi saya, semua
agama yang ada di Indonesia adalah kekayaan yang harus dijaga dengan cinta
kasih yang mewarnai kehidupan Gereja. Dengan
demikian Kasih, berarti kita mencari dan memperoleh hidup kita dalam melayani
hidup orang lain tanpa menjadi sama dengan mereka. Kasih berarti pula rela dan
spontan meninggalkan dunia kita dan memasuki dunia saudara kita yang beragama
lain, dan berbicara dengan mereka. Hal ini pula yang
dilakukan oleh Yesus. Ia meninggalkan ke-Allahan-Nya, dan menjadi sama dengan manusia
berbicara, menderita, mati, dan bangkit kembali bagi manusia.
Dan oleh karena itu,
Ia benar-benar Allah dan manusia.
Yesus adalah kasih.
Karena kasih itu, Ia meruntuhkan
tembok pemisah Allah dengan manusia, dan
membangun persekutuan antara Allah dan manusia. Hidup dalam persekutuan dengan
Allah menciptakan adanya tanggung jawab terhadap hidup orang lain sebagai
sesama. Sehingga dalam pandangan iman Kristiani, walaupun
kita berbeda agama, namun sebagai manusia kita adalah warga Allah, anak-anak
Allah yang mendiami suatu dunia sebagai rumah tangga Allah.
Oleh karena itulah, dalam konteks masyarakat
Indonesia yang majemuk dan sedang mengalami perubahan ini,
justru penting sekali diwujudkan kesaksian dan
perbuatan yan saling meningkatkan mutu kehidupan ini.[5]
Demikianlah kesaksian ini tidak dapat
dipisahkan dengan pelayanan terhadap sesama. Sesama adalah siapa saja yang
dihadirkan oleh Tuhan disekitar kita tanpa memandang agama, suku,
dan ras. Sehingga di dalam pelayanan,
yang menjadi pusat perhatian selalu bukan diri sendiri, melainkan orang yang dilayani,
itu demi kebaikannya.
Inilah yang mungkin lebih bermanfaat bagi
keseluruhan bangsa Indonesia. Guna mencapai kedamaian yang dicita-citakan
bersama, gereja-gereja perlu mengubah
paradigmanya sebagai yang pro
rakyat, sebagaimana diproklamasikan
dalam dokumen Agape. Lakunya
dijalankan atas prinsip cinta kasih yang berorientasi kepada Allah,
manusia, dan alam semesta. Inilah bentuk mewujudkan cinta kasih di tengah-tengah kepelbagaian
untuk mengutamakan keadilan, damai sejahtera,
dan sukacita bersama dari semua untuk semua.
Di tengah kondisi masyarakat yang sedang dikuasai
oleh kelompok-kelompok fundamentalis, Gereja
seharusnya merefleksikan kebaikan Allah di tengah-tengah masyarakat majemuk
Indonesia. Pergumulan ini harus diwujudkan dalam kehidupan sosial untuk
mempersaksikan wajah Yesus, dalam
tindakan membangun dialog antar sesama manusia dalam kepelbagaian. Inilah refleksi kebaikan Tuhan kepada semua orang, yang akan
menghindarkan kita dari kecendurungan mengedapankan klaim-klaim kebenaran. Sehingga nantinya akan mendorong kita untuk lebih solider dalam
kehidupan kebersamaan. Dengan demikian, kedamaian, keselarasan, dan
keutuhan ciptaan dapat dijaga dan dipelihara sebagaimana amanat kitab suci dari
semua agama yang ada di Indonesia. Inilah inti dialoag
antar umat bergama, yang adalah proyek kita bersama,
untuk menjambut kehidupan yang lebih manusiawi dan lebih bermartabat, tanpa
memandang suku, ras, agama, golongan, dan
status sosial. Semoga!
Ut Omnes Unum Sint. Shalom..!!!
[1] Presentasi pada Kongres
GMKI, 25-30 Nopember 2010 di Makasar
[2] Pendeta Gomar Gultom HKBP,
Sekretaris Umum PGI.
[3] Bahana Majalah Rohani
Populer Januari 2010.
[4] Perjumpaan Gereja di
Indonesia Dengan Dunianya Yang Sedang Berubah, Persetia. Jakarta, 1995. Hlm.
20-21.
[5] Utomo R. Bambang, Hidup
Bersama Di Bumi Pancasila, Pusat Studi Agama Dan Kebudayaan, Malang
1993 hal. 281.
0 komentar:
Posting Komentar