Sabtu, 21 Juli 2012

Dialog Antar Agama Dan Keunikan Kristus

Oleh : Melky Molle

Berbicara tentang dialog antar agama dan keunikan Kristus bukan hanya terjadi dalam suatu pertemuan formal saja, yang di dalamnya kita mencari tentang keunikan keagaamaan kita masing-masing. Tapi lebih dari itu, bahwa dialog tersebut juga dapat terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Dengan alasan itulah saya merasa penting untuk mengangkat tulisan ini untuk mengungkapkan realita Indonesia akhir-akhir ini. Bagi saya, dialog antar agama dan melihat keunikan Kristus tidak terlepas dari berbagai persoalan yang ada di sekitar kita. Sehingga, untuk itulah, di samping topik di atas, saya akan sedikit mencoba menggambarkan realita yang ada, yang mengetengahkan dialog itu terjadi, dalam pandangan keunikan Yesus.

Tidak dapat dipungkiri, bangsa Indonesia terbangun oleh kesadaran akan realitas kemajemukan, yaitu kemajemukan ras, etnis, agama dan kultur. Dalam pembentukan bangsa ini, kepelbagaian itu justru dilihat sebagai suatu kekayaan yang tak ternilai. Itu pula yang digambarkan dalam semboyan negara republik Indonesia, “ Bhineka Tunggal Ika “, sebagai mana tertulis dalam lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila. Dalam sejarah perjalanan bangsa ini, perjumpaan antar  ras, etnis, agama, dan kultur tersebut turut menyumbang dalam pembentukan identitas sebagai bangsa Indonesia: bangsa yang majemuk. Dan dengan kearifan dari berbagai latar belakang tersebut terbangun suatu masyarakat yang harmonis dan saling menghargai di tengah kepelbagaian. Salah satu hal yang mampu mengikat masyarakat harmonis di tengah kemajemukan tersebut adalah semangat toleransi. Berbeda dengan corak Islam di Timur Tengah, Islam yang berkembang di Indonesai sangat ramah terhadap budaya lokal dari suku-suku bangsa Indonesia.

Sangat  disayangkan, sekitar satu setengah dekade terakhir ini, kehidupan yang harmonis dan saling mengahargai itu sedikit banyak terusik dengan semakin mengentalnya semangat sektarianisme (paham yang berlawanan dengan ideologi kebangsaan).[1] Hal ini, misalnya, terlihat semakin menguatkan kecenderungan memperjuangkan aspirasi lewat partai-partai berbasis agama, munculnya produk-produk hukum dan kebijakan negara yang berbasis syariah Islam. Upaya memperjuangkan pelaksanaan syariat Isilam di Indonesia seakan isu yang tak berkesudahan, walau sesungguhnya para pendiri bangsa ini sudah sejak awal bertekat menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang demokratis dengan berasaskan pancasila.

Kini, kecenderungan ini semakin menguatirkan, ketika dalam realitas kehidupan sesehari, semangat kebersamaan di tengah masyarakat majemuk ini semakin tergerus oleh semangat intoleransi.[2] Di waktu lalu, Kompas (media massa) menurunkan tajuk rencana yang mengulas hasil penelitian di lima perguruan tinggi besar (UI, ITB, UGM, Universiat Airlangga dan Barawijaya) dengan hasil 80% mahasiswa menginginkan diberlakukannya Syariah Islam sebagai dasar negara, dan bukan Pancasila. Hal ini tentu saja menguatirkan karena kecenderungan sektarianisme tersebut menguat di kalangan generasi muda. Yang lebih mengenaskan, penelitian keberagamaan guru-guru agama SMA yang dilakukan oleh PPIM-UIN 2008 menunjukan 52,4 % responden keberatan jika umat nonmuslim menjadi pemimpin, 63,6% keberatan jika nonmuslim menjadi kepala sekolah dan 73,1% keberatan jika non-muslim membangun rumah ibadah.

Semangat intoleransi itu paling nyata mewujud dalam berbagai kasus-kasus penutupan gereja di berbagai tempat di Indonesia, terutama di Jawa Barat dan Banten. Berbagai gereja dan tempat ibadah yang selama beberapa tahun aman tentram bersama masyarakat di sekitarnya, tiba-tiba mendapat gangguan dari sekelompok orang yang hadir dengan panji-panji Islam. Selama kurun waktu 2004-2007 ada 118 kasus penutupan gereja dan selama 2008-2009 ada 28 kasus, sedang Januari-September 2010 terdapat 29 kasus. Berbagai tindak kekerasan juga mewarnai beberapa kasus penutupan gereja. Dengan demikian maka realitas ini mengusik keprihatinan kita, pertanyaannya apakah kita membiarkannya, atau kita bertindak dengan kesadaran yang sungguh akan persoalan kebangsaan yang adalah persoalan kita bersama yang jika dibiarkan mungkin akan memakan korban bahkan kita sendiri? Ada suara yang berteriak di manakah tanggung jawab pemerintah? Di manakah peran agama? Di manakah jiwa nasionalisme kita? Dan bagaimanakah sikap Gereja dalam mencerminkan ajaran-ajaran Yesus?

Menurut A. A. Yewangoe, persoalan kebangsaan adalah proyek bersama, di mana kemiskinan dan persoalan pluralisme adalah persoalan yang harus diperhatikan.[3] Sehingga pada tataran pengambilan kebijakan pemerintah jangan tinggal diam melihat persoalan bangsa yang semakin hari semakin rumit untuk diatasi, sehingga mengarah kepada diskriminasi terhadap kaum minoritas yang bisa memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa yang seharusnya menjadi perhatian khusus. Rakyat Indonesia tidak lagi berteriak akan persoalan diskriminatif. Padahal, realita kebangsaan kita adalah pluralisme, yang merupakan modal dan kekayaan yang dapat menjadi daya tarik bagi bangsa atau negara lain, jika ini disadari dan ditata secara baik oleh pihak-pihak terkait khususnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Tetapi jika ini dibiarkan oleh pemerintah, maka negara berdosa terhadap rakyatnya sendiri bahkan Tuhan Yang Maha Esa. Karena suara rakyat adalah suara Tuhan, pemerintah adalah utusan Allah.

Jika secara etimologi definisi agama di bagi menjadi A dan Gama yang artinya tidak kacau, maka sebenarnya kita akan sulit menerjemahkan dengan konteks kita yang telah saya gambarkan di atas. Jika agama dikaitkan dengan konteks sekarang, bahwa agama sebagai penyebab kekacauan, maka yang terjadi ajaran-ajaran agama tidak lagi dihayati sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan manusia yang mengakui bahwa selain kekuatan manusia ada kekuatan yang dahsyat melebihi kekuatan apapun. Yang jadi soal, agama yang seharusnya diyakini sebagai penentu jalan kebenaran, kini telah bergeser pada hal-hal dogmatis yang menciptakan tembok-tembok pemisah, sehingga lama atau cepat akan terjadi gesekan-gesekan sosial. Ajaran agama yang telah menjerumuskan ke paham sektarianisme, dan mendiskriminasi manusia lain, adalah ajaran sesat. Agama yang ada di Indonesia seharusnya lebih menguasai diri dari berbagai paham yang sedang berkembang. Agama harus memiliki konsep-konsep dialog yang menyehatkan sehingga dapat memberi kehidupan bagi setiap manusia yang beragama.

Di sisi lain, jika kita menyadari bahwa kita benar-benar mencintai negara Indonesia yang lahir dari sebuah pergumulan penderitaan bersama untuk merebut kemerdekaan, maka sebenarnya perbedaan adalah instrumen keindahan, antar agama, etnis, dan ras yang tertuang dalam ideologi negara kita yaitu Pancasila. Harusnya para pemimpin kita tidak boleh melupakan sejarah, karena dari sejarahlah kita dapat bercermin, bahwa sesungguhnya kemerdekaan yang kita rebut adalah impian para pendahulu yang mengorbankan harta benda, jiwa dan raga untuk pembebasan rakyat Indonesia. Sejatinya, ini pula jiwa kepahlawanan yang tercermin dari semangat Yesus untuk membebaskan kaum tertindas sampai Ia mati di Salib. Inilah korelasi antara Yesus dengan Pahlawan yang telah berkorban demi negara, siapapun dia, dia pasti selalu dikenang karena jasanya terhadap negara. Dengan demikian para tokoh-tokoh agama seharusnya berjiwa nasionalis dan mengakui bahwa Muhammad dan Yesus sebagai pejuang Humanis yang pengaruhnya dapat dirasakan secara universal dan diakui oleh dunia.

Gereja seharusnya memahami bahwa ia bertumbuh dan berkembang serta berafiliasi dengan kehidupan keberagaman dalam konteks ke-Indonesia-an yang sering mengalami dinamika dalam mencari solusi-solusi dalam problem keagamaan. Realita menggambarkan bahwa bentrokan-bentrokan dogmatis adalah yang utama yang sering diperdebatkan pada aras grass root (akar rumput). Apa yang sebenarnya terjadi pada problem keagamaan dalam konteks ke-Indonesia-an, menyebabkan mata rantai harmonisasi tercabik-cabik, dan ini disebabkan oleh paham ekslusif, triumphalisme, yang  tertutup dan yang menganggap lebih benar dari yang lain. Inilah realita sosial yang semakin memprihatinkan. “Yang lain menganggap musuh bagi yang lain”. Seakan-akan paham homo homoni lupus telah menjadi dokrin bagi orang-orang yang katanya beragama.

Seharusnya Gereja tidak boleh pesimis menghadapi problem kebangsaan itu. Karena problem kebangsaan yang kita hadapi sekarang ini adalah tanggung jawab kita bersama. Marilah kita belajar pada kesaksian dan pemberitaan Yesus dalam menjalankan amanat Allah di tengah-tengah dunia Palestina pada zamannya. Yesus menempatkan pelayanannya dengan corak homo homini salus (sumber berkat). [4]

Bagi saya, semua agama yang ada di Indonesia adalah kekayaan yang harus dijaga dengan cinta kasih yang mewarnai kehidupan Gereja. Dengan demikian Kasih, berarti kita mencari dan memperoleh hidup kita dalam melayani hidup orang lain tanpa menjadi sama dengan mereka. Kasih berarti pula rela dan spontan meninggalkan dunia kita dan memasuki dunia saudara kita yang beragama lain, dan berbicara dengan mereka. Hal ini pula yang dilakukan oleh Yesus. Ia meninggalkan ke-Allahan-Nya, dan menjadi sama dengan manusia berbicara, menderita, mati, dan bangkit kembali bagi manusia. Dan oleh karena itu, Ia benar-benar Allah dan manusia.

Yesus adalah kasih. Karena kasih itu, Ia meruntuhkan tembok pemisah Allah dengan manusia, dan membangun persekutuan antara Allah dan manusia. Hidup dalam persekutuan dengan Allah menciptakan adanya tanggung jawab terhadap hidup orang lain sebagai sesama. Sehingga dalam pandangan iman Kristiani, walaupun kita berbeda agama, namun sebagai manusia kita adalah warga Allah, anak-anak Allah yang mendiami suatu dunia sebagai rumah tangga Allah.

Oleh karena itulah, dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk dan sedang mengalami perubahan ini, justru penting sekali diwujudkan kesaksian dan perbuatan yan saling  meningkatkan mutu kehidupan ini.[5] Demikianlah kesaksian ini tidak dapat dipisahkan dengan pelayanan terhadap sesama. Sesama adalah siapa saja yang dihadirkan oleh Tuhan disekitar kita tanpa memandang agama, suku, dan ras. Sehingga di dalam pelayanan, yang menjadi pusat perhatian selalu bukan diri sendiri, melainkan orang yang dilayani, itu demi kebaikannya.

Inilah yang mungkin lebih bermanfaat bagi keseluruhan bangsa Indonesia. Guna mencapai kedamaian yang dicita-citakan bersama, gereja-gereja perlu mengubah paradigmanya sebagai yang pro rakyat, sebagaimana diproklamasikan dalam dokumen Agape. Lakunya dijalankan atas prinsip cinta kasih yang berorientasi kepada Allah, manusia, dan alam semesta. Inilah bentuk mewujudkan cinta kasih di tengah-tengah kepelbagaian untuk mengutamakan keadilan, damai sejahtera, dan sukacita bersama dari semua untuk semua.

Di tengah kondisi masyarakat yang sedang dikuasai oleh kelompok-kelompok fundamentalis, Gereja seharusnya merefleksikan kebaikan Allah di tengah-tengah masyarakat majemuk Indonesia. Pergumulan ini harus diwujudkan dalam kehidupan sosial untuk mempersaksikan wajah Yesus, dalam tindakan membangun dialog antar sesama manusia dalam kepelbagaian. Inilah refleksi kebaikan Tuhan kepada semua orang, yang akan menghindarkan kita dari kecendurungan mengedapankan klaim-klaim kebenaran. Sehingga nantinya akan mendorong kita untuk lebih solider dalam kehidupan kebersamaan. Dengan demikian, kedamaian, keselarasan, dan keutuhan ciptaan dapat dijaga dan dipelihara sebagaimana amanat kitab suci dari semua agama yang ada di Indonesia. Inilah inti dialoag antar umat bergama, yang adalah proyek kita bersama, untuk menjambut kehidupan yang lebih manusiawi dan lebih bermartabat, tanpa memandang suku, ras, agama, golongan, dan status sosial. Semoga!

Ut Omnes Unum Sint. Shalom..!!!



[1] Presentasi pada Kongres GMKI, 25-30 Nopember 2010 di Makasar
[2] Pendeta Gomar Gultom HKBP, Sekretaris Umum PGI.
[3] Bahana Majalah Rohani Populer Januari 2010.
[4] Perjumpaan Gereja di Indonesia Dengan Dunianya Yang Sedang Berubah, Persetia. Jakarta, 1995. Hlm. 20-21.
[5] Utomo R. Bambang, Hidup Bersama Di Bumi Pancasila, Pusat Studi Agama Dan Kebudayaan, Malang 1993 hal. 281.

0 komentar:

Posting Komentar