Sabtu, 21 Juli 2012

Menulis itu Asyik: Sebuah ProvoAksi

Oleh: Semuel S. Lusi


Menulis itu asyik. Juga mudah. Ya, asyik dan mudah sekali. Betapa tidak? Bayangkan, ketika menulis Anda sebenarnya sedang menceritakan diri Anda, sedemikian sehingga orang lain tertarik membacanya. Dan sementara orang keasyikan “mempelajari diri Anda,” Anda bisa melakukan kesenangan lainnya seperti berpacaran, pelesir, mendaki (hiking), berenang, fitness, dan sebagainya. 

Saya ingat ketika pertama kali mendapatkan transferan royalti dari Gramedia Pustaka Utama untuk buku The Real You is The Real Success, saya sedang berada di pemandian Muncul untuk latihan renang. Terdengar samar-samar dari dalam kolam HP saya bersiul, sebuah dering khusus untuk mutasi di rekening BCA. Sesaat saya keluar dari pemandian dan mengecek untuk memastikannya, Saya tersenyum lalu bilang ke Ricky: “bayangkan sementara kebanyakan orang sedang sumpek bekerja di kantor, atau di ruang rapat yang mungkin penuh ketegangan, sedang dimarahi bos, sambil menunggu awal bulan untuk antri menerima gaji, saya malah menerima gaji saya selagi asyik berenang.” 

Menulis adalah mencipakan sebuah dunia virtual yang indah. Dunia virtual itu merupakan kerajaan ide-ide, solusi, api pemicu, penguat, penghibur, dan juga sumber informasi. Anda tersedot di dalamnya, dan bahkan kerapkali Anda tidak bisa menguasai diri. Sebaliknya Anda dikuasi oleh “roh tulisan Anda.” Begitulah saya sering merasa bahwa tulisan memiliki roh sendiri. Andrias Harefa, penulis 30-an buku bestseller yang menurut saya adalah pionir writerpreneurship di Indonesia menggambarkannya dengan indah dalam salah satu bukunya, Happy Writing: 50 Kiat agar Bisa Menulis dengan “Nyasik” (2010): 

“Menulis bagi saya adalah sebuah pengalaman yang luar biasa dan sulit didefinisikan dengan kata-kata. Proses menulis, dalam banyak kasus, membawa saya ke dalam percengkeramaan dengan kekekalan. Artinya, membuat saya melayang dan terbang dari kefanaan, lalu bercengkerama dengan alam ide, dunia maya, alam batin yang non-fisik, di mana ruang dan waktu tak berfungsi sebagaimana di alam nyata (fisik). Saat asyik menulis, saya bisa tak mendengar suara-suara yang berkeliaran di sekitar. Saya seolah-olah pindah ke alam lain, ke tempat lain, di mana ide-ide saling berkelindan. Sebutir ide mengejar dan merajut ide lainnya. Kemudian lahirlah anak-anak ide, yang tak ada sebelumnya.” 

Tidaklah berlebihan bila kebanyakan orang yang memiliki hobi menulis mengatakan bahwa “aktifitas menulis itu memberi kebahagiaan dan kepuasan batin.” Bila Anda seorang idealis maka idealisme Anda akan terpelihara bahkan berkembang lewat pekerjaan menulis. Bukankah itu juga mengasyikan? 

Faktor lain yang membuat “pekerjaan menulis” itu asyik adalah daya fantastiknya atau funtastic (fun + fantastic). Bagaimana tidak? Menulis dapat merubah sampah menjadi berlian. Cobalah bayangkan, segumpal tai anjing di pinggir jalan pasti akan membuat Anda jijik. Apalagi bila tanpa sengaja derap langkah Anda menendangnya sehingga membuatnya terpencar atau penyet seperti puing pohon yang tersambar petir. Separuhnya lengket tipis di ujung sepatu. Tadinya tidak Anda sadari sebab warnanya tenggelam dalam suplemen warna sepatu kets yang tidak pernah dibersihkan sejak dibeli tiga tahun lalu. Untungnya tai berbau, dan baunya menyengat. Makanya hidung Anda lebih cerdas mengendus ke-sok-akrap-annya di sepatu Anda. 

Ketika Anda menuliskan pengalaman itu lalu menunjukkan sisi positif dan poin pembelajarannya, atau ambivalensinya maka tulisan itu menarik dan mungkin “layak jual.” Atau setidaknya membuat orang lain tertarik membacanya. 

“Bagaimana asyik kalau gak menghasilkan? Atau gak membuat kaya? Hidup ‘kan bukan sekedar mengejar idealisme, tetapi juga butuh makan, bergaya, dan setidaknya hidup yang berkcukupan: cukup untuk bersenang-senang, cukup untuk beli mobil, cukup untuk bepergian ke luar negeri, dan seterusnya,” demikian sebagian orang beragumentasi pesimis. Pendapat ini juga tidak sepenuhnya benar. Kenyataannya sejumlah penulis menjadi kaya materi dari tulisan mereka. Tidak hanya dalam dunia keartisan, dalam dunia menulis pun banyak orang mengalami perubahan kehidupan. 

Contohnya karya Dan Brown (Fiksi: The Da Vinci Code, terjual 80 jutaan copy) Joanne Kathleen Rowling (Fiksi: Harry Porter, terjual 44 jutaan copy), dan Indonesia tercatat karya Andrea Hirata (Fiksi: Laskar Pelangi), Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman dan Supernova karya Dewi "Dee" Lestari. Jenis buku kepemimpinan, motivasi dan bisnis yang fenomenal laris adalah: Napoleon Hill (Think and Grow Rich, 1937) , Dale Carnegie ( How to Win Friends and Influence People, 1936), Stephen R.Covey (The 7 Habits of Highly Effective People), Robert Kiyosaki (Rich Dad Poor Dad), dan di Indonesia buku ESQ karya Ari Ginanjar Agustin. Buku terlaris sepanjang massa yang belum terkalahkan hingga kini adalah karya Charles Dickens berjudul A Tale of Two Cities, terbit pertamakali tahun 1859 (hingga kini terjual 200-an juta copy dan masih dicetak lagi). Buku klasik lainnya yang tergolong dalam kategori yang sama adalah The Lord of The Rings karya J.R.R. Tolkien yang terbit tahun 1954. Juga masih dicetak hingga kini (terjuang 150-an juta copy). Bila ke Gramedia pasti Anda ketemu judul ini. 

Sering orang bertanya apa tips paling topjer untuk menulis? Apa langkah awalnya? Apa modal utamanya? Dulu saya juga sering mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sama. Sekarang, saya kerap heran kok bisa ada pertanyaan seperti itu? Langkah pertama menulis adalah “Mulai saja.” Dalam buku saya, The Great Transformastion, saya jelaskan bahwa hampir semua orang memiliki impian hebat. Tetapi yang membuat sukses adalah mereka yang memutuskan untuk “memulai” karena dengan itu mereka dapat mewujudkan mimpi-mimpi mereka. Saya sebut dengan “kekuatan eksekusi” (power of execution). Begitu Anda memutuskan maka Anda pun segera bergerak. Sebelum memutuskannya, Anda hanya bermimpi. 

Bagaimana kalau saya tidak bisa nulis? Tidak punya talenta dalam menulis? Kedua pertanyaan itu juga sering saya dengar. Apa benar Anda tidak bisa menulis? Berarti Anda juga tidak bisa membaca? Orang yang bisa membaca pasti bisa menulis, bukan? Jadi mustahil Anda tidak bisa menulis, padahal Anda bisa membaca provoAksi saya ini. Anda pasti tahu bahwa tulisan sehebat apapun pasti merupakan kombinasi dari 26 huruf. Jadi seharusnya setiap orang yang sudah mengenal dan bisa menulis abjad bisa membuat tulisan. 

Orang sering bertanya, mengapa saya meninggalkan pekerjaan formal dan memilih menjadi penulis? Apakah itu tidak berlebihan? Bukankah itu spekulasi yang terlalu berlebihan? Tindakan tanpa perhitungan? Memang cara berpikir orang pada umumnya seperti itu. Saya tidak mau berpikir seperti orang kebanyakan. Saya punya beberapa alasan: 


  1. Pekerjaan menulis lebih membantu saya memelihara idealisme saya. Kalau di pekerjaan formal orang bisa saja merasa dipaksa harus menjalani idealisme orang lain, terkadang menjalani kehendak owner atau atasan. Dalam menulis, saya menciptakan impian besar dan menggunakan kehendak bebas untuk merencanakan dan meraihnya. 
  2. Lewat pekerjaan menulis saya bisa mengukur sendiri kinerja saya. Di pekerjaan formal sering kinerja kita tergantung pada mood dan penilaian subyektif owner atau atasan. Atasan yang berpandangan luas, cerdas dan mampu berpikir obyektif akan membantu kita mengembangkan kinerja dengan baik, tetapi atasan yang berpikiran sempit akan merusak kinerja dan semangat kita. 
  3. Kebebasan otentik lebih mudah saya peroleh lewat pekerjaan menulis. Dalam menulis saya mengatur ritme dan jadwal kerja saya sendiri. Saya bisa kerja di waktu malam sampai jam 3 subuh, tetapi tidur dan bangun jam 9 atau 10 pagi, saya bisa memiliki waktu untuk olah raga dan melakukan banyak kesenangan saya, dan sebagainya. Kapan dan dimana saja saya terinspirasi dan ingin menulis langsung menulis. Demikian juga, kapan pun saya suka beristirahat saya segera lakukan. 
  4. Pekerjaan Menulis tidak mengenal masa pensiun. Berbeda dengan jenis pekerjaan lainnya, dimana pertambahan usia (makin tua) berbanding terbalik dengan produktifitas, dalam menulis sebaliknya justru berjalan simetris. Semakin tua justru tulisan kita makin matang, makin kaya (sering dengan bertambahnya pengalaman, pembeljaran dan penghayatan hidup). 
  5. Hanya dalam pekerjaan menulis saya bisa memanfaatkan semua talenta yang saya miliki. Misalnya kemampuan untuk berimajinasi, berkhayal, merangkai kata, dan sebagainya. Di pekerjaan formal saya hanya bisa menggunakan “keahlian atau talenta” yang berkaitan dengan job, tetapi saya tidak seenaknya mengekpresikan semua yang saya miliki.
Penutup
Seorang nenek berumur 102 tahun bisa mengendari motor balap dan ngebut lagi. Kedengarannya tidak masuk akal, tetapi itulah yang terjadi. Hilda Wright, nama nenek renta itu berusia 102 tahun masih bisa membesut sepeda motor. Ia menunggang Yamaha YZF-R1 2009 yang pernah dipakai Valentino Rossi tampil pada ajang balap paling bergengsi di Inggris, Isle of Man TT, tahun lalu. Sang nenek ini bikin sensasi paling gila dengan merayakan ultah ke-102 dengan mengendarai Yamaha Rossi tersebut. Menantu dari cucunya, Steve Shaw mengetahui kalau neneknya punya kegemaran melesat di atas sadel sepeda motor. Makanya, ia menawarkan Hilda menunggang motor bekas Rossi itu untuk memperingati ultahnya. Dan, Hilda si nenek tidak membuang kesempatan mengekekusi impiannya. 

Bila nenek berusia 102 tahun masih mampu menerima tantangan dan bahkan sukses mengeksekusinya, mengapa Anda tidak? Tidak seperti resiko ngebut motor balap di usia renta, dimana gagal bisa berarti maut, bila Anda mencoba menulis dan gagal paling-paling rugi waktu. Itu pun kalau Anda tidak mau melihat itu sebagai bagian dari pembelajaran. Tetapi bila Anda mampu memahami itu sebagai bagian dari proses maka Anda lalu bisa mulai lagi, dan lagi dan lagi. Menulis itu memiliki tantangan tersendiri, tetapi lebih dari itu menulis merupakan aktifitas yang mengasyikkan dan membahagiakan. Siapa yang tidak mau bahagia? Jadi apa salahnya mencoba memulai? Selamat menulis!

Untuk download versi PDF, klik di sini.

0 komentar:

Posting Komentar